Aku tak
pernah bebas mencintai dia. Dia lebih suka kucintai secara diam-diam. Dia
lebih suka kucintai tanpa harus ada banyak orang yang tahu. Itulah kita, dengan
kemesraan yang kami sembunyikan, dengan sapaan sayang yang tak pernah terdengar
dimuka umum. Seringkali, ada rasa sakit yang menyelinap secara nyata dalam
“kerahasiaan” ini, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, aku tak pernah mampu
melawan dia yang tetap saja mengatakan sayang meskipun aku selalu dia
sembunyikan.
Kami memang
terlihat seakan-akan tak memiliki hubungan khusus, kami memang seringkali
terlihat seakan-akan tak punya perasaan apa-apa. Padahal, saat kami hanya
berdua, perasaan itu membuncah dengan liarnya, rasa cinta itu mengalir dengan
derasnya. Tak ada orang lain yang tahu bahwa kami telah bersama, karena dia
selalu berpendapat bahwa suatu hubungan memang tak butuh publikasi berlebihan.
Tapi, menurutku, ini bukan hanya sekedar pubikasi yang dia ceritakan, nyatanya
aku benar-benar disembunyikan, nyatanya saat dia bersama teman-temannya, aku
seakan-akan tak pernah ada didekatnya, aku diperlakukannya seperti orang lain.
Ada rasa sakit yang sebenarnya diam-diam menyiksaku, tapi aku masih sulit
memutuskan tindakan yang harus kulakukan.
Memang,
di depannya aku tak pernah mempermasalahkan pengabaiannya, tapi justru tindakan
itulah yang membuatku tersiksa dibelakangnya. Aku memang bahagia saat
bersamanya, tapi apa gunannya kalau dia hanya sanggup untuk menyembunyikanku?
Aku memang merasa hangat jika dalam peluknya, tapi apa gunanya jika pelukan itu
semu dan tak bisa terus menghangatkanku? Aku terpaksa menunggu dihubungi lebih
dulu, jadi dia akan datang padaku ketika dia hanya membutuhkanku? Padahal aku
merindukannya, padahal aku ingin menghubunginya lebih dulu.
Aku seringkali
merasa bukan seseorang yang penting dalam hidupnya, karena memang dia jarang
memperlakukanku layaknya orang penting dalam hidupnya, padahal aku selalu
menganggap dirinya penting dalam hidupku, bahwa sebagian diriku ada bersamanya.
Lupakan makan malam romantis, lupakan gandengan tangan yang manis, lupakan
boneka yang tersenyum dengan bengis, dia memang tak seromantis pria-pria
lainnya, dia memang selalu lupa untuk memperlakukanku layaknya wanita. Mungkin,
aku sudah terbiasa disakiti olehnya. Mungkin, perasaanku buta akan cinta
sesungguhnya, sehingga perlakuan yang menyakitkan pun tetap kuanggap sebagai
perlakuan yang membahagiakanku.
Dia
bahkan tak mempertegas status kita. Seringkali aku bertanya, inikah cinta yang
kucari jika dia hanya bisa menyakiti? Inikah dunia yang kuharapkan jika aku
merasa frustasi di dalamnya? Inikah hubungan yang akan membahagiakanku
jika dia tak pernah menganggapku ada dan nyata? Apakah ini saatnya untuk
melanjutkan, atau berhenti di tengah jalan?
0 comments:
Post a Comment