Ini bukan yang pertama, duduk sendirian dan memerhatikan beberapa
tulisan berlalu-lalang. Setiap abjad yang tersusun dalam kata terangkai
menjadi kalimat, dan entah mengapa sosokmu selalu berada di sana,
berdiam dalam tulisan yang sebenarnya enggan aku baca dan kudefinisikan
lagi. Ini bukan yang baru bagiku, duduk berjam-jam tanpa merasakan
hangatnya perhatianmu melalui pesan singkat. Kekosangan dan kehampaan
sudah berganti-ganti wajah sejak tadi, namun aku tetap menunduk, mencoba
tak memedulikan keadaan. Karena jika aku terlalu terbawa emosi, aku
bisa mati iseng sendiri.
Tentu saja, kamu tak merasakan apa yang kurasakan, juga tak memiliki
rindu yang tersimpan rapat-rapat. Aku sengaja menyembunyikan perasaan
itu, agar kita tak lagi saling menganggu. Bukankah dengan berjauhan
seperti ini, semua terasa jadi lebih berarti? Seakan-akan aku tak pernah
peduli, seakan-akan aku tak mau tahu, seakan-akan aku tak miliki rasa
perhatian. Bagiku, sudah cukup seperti ini, cukup aku dan kamu, tanpa
kita.
Kali ini, aku tak akan menjelaskan tentang kesepian, atau bercerita
tentang banyak hal yang mungkin saja sulit kaupahami. Karena aku sudah
tahu, kamu sangat sulit diajak basa-basi, apalagi jika berbicara soal
cinta mati. Aku yakin, kamu akan menutup telinga dan membesarkan volume
lagu-lagu yang bernyanyi bahkan tanpa lirik yang tak bisa
kauterjemahkan sendiri. Aku tidak akan tega membebanimu dengan
cerita-cerita absurd yang selalu kaubenci. Seperti dulu, saat aku
bicara cinta, kau malah tertawa. Seperti saat kita masih bersama, aku
berkata rindu, namun kautulikan telinga.
Hanya cerita sederhana yang mungkin tak ingin kaudengar sebagai
pengantar tidurmu. Kamu tak suka jika kuceritakan tentang air mata
bukan? Bagaimana kalau kualihkan air mata menjadi senyum pura-pura?
Tentu saja, kau tak akan melihatnya, sejauh yang kutahu; kamu tidak
peka. Dan, mungkin saja sifat burukmu masih sama, walaupun kita sudah
lama berpisah dan sudah lama tak saling bertatap mata.
Entah mengapa, akhir-akhir ini sepi sekali. Aku seperti berbisik dan
mendengar suaraku sendiri. Namun, aku masih saja heran, dalam gelapnya
malam ternyata ada banyak cerita yang sempat terlewatkan. Ini tentang
kita. Ah... sekarang kamu pasti sedang membuang muka, tak ingin membuka
luka lama. Aku pun juga begitu, tak ingin menyentuh bayang-bayangmu
yang semakin samar-samar, tak ingin mereka-reka senyummu yang tidak
lagi seindah dulu.
Kalau boleh aku jujur, kata "dulu" begitu akrab di otak, pikiran, dan
telingaku. Seperti ada sesuatu yang terjadi, sangat dekat, sangat
mendalam, sampai-sampai tak mampu terhapus begitu saja oleh angkuhnya
waktu dan jarak. Sudah kesekian kali, aku diam-diam menyebut namamu
dalam sepi, dan membiarkan kenangan terbang mengikuti gelitik manja
angin; tertiup jauh namun mungkin akan kembali.
Wajah baruku bisa kaulihat sendiri, terlihat lebih baik dan lebih
hangat daripada saat awal perpisahan kita. Bicara tentang perpisahan,
benarkah kita memang telah berpisah? Benarkah kita sudah saling
melupakan? Jika memang ada kata "saling", tapi mengapa hatiku masih
ingin terus mengikatmu? Dan, mengapa hingga saat ini kamu tak
benar-benar menjauh? Kadang, jarak tak menjadi alasan untuk kita saling
berbagi. Dalam serba ketidakjelasan, aku dan kamu masih saja
menjalani... menjalani sesuatu yang tak tahu harus disebut apa. Tapi,
katamu, masih ada rasa nyaman ketika kita kembali berdekatan. Terlalu
tololkah jika kusebut belahan jiwa? Keterikatan aku dan kamu tak ada
dalam status, tapi jiwa kita, napas kita, kerinduan kita; miliki denyut
dan detak yang sama.
Tidak usah dibawa serius, hanya beberapa rangkaian paragraf bodoh
untuk menemani rasa sepi yang sudah lama sekali datang menghantui.
Sejak kamu tak lagi di sini, sejak aku dan kamu memilih jalan
sendiri-sendiri, aku malah sering main dengan sepi, sulit untuk
dipungkiri.
Sebentar lagi tanggal 7 Oktober. Ingat apa yang kau lakukan 2 tahun yang lalu?
Kamu mengirim pesan singkat yang membuat aku tercengan dan terbelalak
keheranan. Kamu mengucapkan kata-kata indah yang benar-benar membuatku
luluh..
Dan keesokannya kita bertemu dengan sapa-sapan indah dan
pandangan berbeda yang membuat hati menggebu dan merasakan kebahagiaan
yang takkan berakhir..
Tatapanmu terlihat semakin serius, semakin dalam, dan kamu berucap
pelan-pelan. Iya, saat itu aku dan kamu menjadi kita. Indah. Tapi, masa
lalu, dulu. Sudah kubilang dari awal kan, "dulu" itu memang
menyenangkan.
Dan, di antara kata-kata yang kutulis dan membuat jemariku pegal
di antara kertas-kertas yang berserakan
Aku masih merindukanmu.
0 comments:
Post a Comment