Maafkan
aku yang mungkin menganggap apa yang terjadi pada akhir-akhir ini memang
sangatlah menyebalkan..
Aku
memang menyentuh bingkai itu saat aku mengambilkan segelas air untuk menyiapkan
kau minum nanti. Kau memang masih belum pulang, siang itu kau masih di Masijd
untuk menunaikan Sholat Dzuhur berjama’ah. Aku memang terbiasa menaruh gelas
dibelakang bingkai itu, tapi entah mengapa dengan tak sengaja aku menyentuhnya
dan bingkai itu terjatuh dan pecah. Bingkai yang berisi foto-foto masa kecil
dan foto-foto keluarga. Seketika aku terdiam dan mendadak menjadi cemas karena
kau belum juga tiba di rumah. Namun ketika aku sedang membereskannya tak lama
kau pun muncul dari pintu masuk rumah, dengan wajah berseri dan tersenyum
menawan padaku, seolah kau menjelaskan padaku bahwa tak ada yang perlu
dikhawatirkan, kau baik-baik saja.
Esok
harinya memang berjalan seperti biasa. Namun sepulang aku kuliah, aku memandang
seisi ruang tamu. Kali ini ada yang berbeda. Entah itu apa tapi aku merasa ada
hal yang hilang di ruang itu. Hingga ibu bertanya..
“Kenapa? Kok liatin seisi ruangan kaya gitu?”
“Gapapa bu..”
Nah,
ini. Aku terpaku pada sebuah tempat yang seharusnya disana terdapat foto ibu
dan ayah. Tapi sekarang tak ada, dimana?
“Ibu, fotomu dan ayah yang ada disana kemana? Kok ga
ada ditempat?”
“Tadi siang pecah”
“Kok bisa pecah bu?”
“Iya, tadi siang angin kencang sekali jadi fotonya
kedorong angin dan jatoh”
Aku
slalu mencoba untuk tak memikirkan hal-hal aneh layaknya sinetron-sinetron yang
seolah diberi tanda buruk setiap ada barang yang pecah. Tapi aku berfikir
sedikit aneh. Foto itu sudah ditaruh disana sejak lama, sekencang apapun
anginnya juga sebelum-sebelumnya foto itu tak pernah jatuh. Aku kembali
mengkhawatirkan ayah. Ayah masih di kantor, dan aku sengaja menunggu ayah di
ruang tamu agar aku mengetahui kedatangannya sehingga aku melihat keadaan ayah
dan meyakinkan diri sendiri bahwa tak ada hal buruk yang terjadi pada ayah. Aku
harap ayah baik-baik saja.
Ba’da
maghrib ayah tiba dirumah, dan tenangnya hati ini melihat ayah dalam kondisi
baik-baik saja. Aku pun kembali menuju kamar untuk melanjutkan tugas-tugasku
yang berserakan.
Dalam
waktu yang berdekatan pula aku telah memecahkan beberapa gelas. Sebenarnya
bukan maksudku ingin merusak, tapi entah mengapa tanganku seolah tak memiliki
kekuatan lebih untuk menggenggam gelas-gelas itu. Termasuk saat kau terbaring
lemah di Rumah Sakit (beberapa waktu sebelum kau tiada). Saat itu aku kembali
ke rumah untuk mengambilkan ibu selimut dan bantal agar ibu bisa tidur sedikit
nyaman di ruang tunggu selama ayah di Ruang ICU. Setibanya aku dirumah, aku
langsung menuju dapur untuk menaruh buah-buahan yang ku bawa ke dalam kulkas.
Ketika aku melewati rak piring, aku tak sengaja menyenggolnya. ‘Pranggggg’, aku
memecahkan gelas lagi. “Maafkan aku ibu, gelasmu sudah banyak yang rusakkan.
Tapi aku tak sengaja” batinku. Aku membereskannya dengan hati cemas, memikirkan
ayah yang sedang terbaring lemah di ICU.
“Ya Allah..
Izinkan orang yang aku sayangi sembuh, izinkan aku
untuk membahagiakannya lebih lama..
Kasian Ayah dari kemarin belum makan, pasti ia
lapar. Ia hanya mendapatkan cairan obat yang dimasukan melalui selang-selang
ditubuhnya..
Ya Allah, sadarkan ayah..
Aku rindu suaranya, aku ingin bercerita banyak hal
yang ia tak ketahui selama ia sakit..
Aku ingin bercerita padanya bahwa banyak orang yang
berdatangan untuk mengharapkan kesembuhannya..
Aku ingin merasakan hangat sentuhnya lagi saat ia
menenangkan aku..”
Aku
membereskan pecahan-pecahan gelas itu dengan hati tak karuan dan air mata yang
sulit dihentikan. Aku buru-buru, aku mau lihat ayah, aku rindu ayah, aku yakin
nanti setibanya aku di rumah sakit pasti ayah sudah bangun.
Sekembalinya
aku ke rumah sakit aku langsung menuju ruang ICU, aku ingin tahu bagaimana
kondisi ayah malam itu. Ku buka perlahan ruangannya, dan aku kembali meneteskan
airmata saat memeluknya.
“Ayaaah, apa kau tak lapar? Ayaaah kau belum makan
sejak kemarin. Ini aku bawakan roti yah, aku yakin kau sudah boleh makan roti.
Ayaaah bangun sebentar, makan roti yang aku bawa dulu nanti baru tidur lagi”
Memang
tak bisa ku tahan airmata ini “Ayaaaah
mau sampai kapan kau diamkan aku seperti ini, yah? Mau sampai kapan ayah tak mau
bicara denganku ibu, dan adik? Ayah jangan tidur terus, bangun yah banguuuuun”
Ayah
tak juga sadar. Kondisinya masih koma. Hingga akhirnya ayah sembuh dijalan
Allah. Mungkin Allah terlalu sayang pada ayah sehingga iya tak ingin melihat
ayah sakit terlalu lama.
Ayah..
Tanda-tanda
akan tiadanya dirimu memang tak pernah ku duga pada diriku sendiri. Termasuk
boncengan terakhirmu saat kau minta aku jemput.
Hari
ini bertepatan dengan 40 hari tiadanya dirimu. Dan memang tak terasa aku
ternyata sudah tanpamu selama ini. Rasa rindu yang semakin menggebu-gebu. Hanya
mampu memandang foto-foto yang sengaja aku pajang di seluruh kamarku..
Indahnya senyummu yang
menggejolakkan aku dan membuatku bangkit dan maju..
Ayah, aku janji akan menjadi sepertimu..Aku janji semampuku menjaga ibu dan adik sama sepertimu..Aku janji akan kuat sepertimu di keluarga ini..Aku janji, yah..Bantu aku untuk menjadi yang terbaik ya, yah..Aku akan buat kau, dan mereka bangga..
Dari
Aku yang tak pernah
berhenti menyayangi, mencintai, mengagumi, dan mengenangmu..
@Lya_cahyanth | Lia Nurcahyanti
0 comments:
Post a Comment