Tuesday, October 14, 2014

Hari Terakhir Ayah

Aku sudah sebesar ini, 20 tahun. Terlahir dari seorang ayah yang pembangun dan seorang ibu yang pembangkit. Kali ini tanganku ingin bergerak menceritakan sedikit tentang sosok sang Ayahku..

Perkenalkan, ayahku bernama Suyitno, memiliki kelahiran di Kota Ponorogo dan lahir pada 3 Mei 1966. Ayahku bekerja sudah 20 tahun lamanya di PT kesayangannya, PT YAMAHA INDONESIA MOTOR, MFG (wow, sama dengan umurku kan).


Ayahku sosok yang kuat, baik hati, ramah, dan dermawan (bukan aku yang bilang, tapi di kebanyakan orang, aku pun mengakui hal yang sama). Di akhir ayah ingin menutup matanya untuk selamanya, satu hari sebelum ayah jatuh sakit (Tepat di hari Sabtu) yang dimana ia benar-benar drop, ia memintaku untuk menjemputnya ke kantor. Ia menelpon ibu..

“Assalamualaikum Bu, Lia udah pulang belum?”
“Waalaikumsalam, udah yah lagi di kamar. Kenapa?”
“Tolong suruh jemput ayah ya bu, kepala ayah pusing banget ini lemes ga kuat bawa motor..”
“Iya yah, jemput dimana? Biar ibu bilangin”
“Di kantor aja”

Tak lama kemudian ibu bilang padaku untuk menjemput ayah dan aku bergegas menjemputnya bersama rekan adikku (sebut saja namanya Ridwan).

“Bang, jalannya agak ngebut aja ya. Kasian ayah nanti kelamaan..”
“Oh iya..”

Setelahnya sampai didepan kantor, aku langsung telepon ayah lagi.

“Dimana yah? Aku udah didepan kantor”
“Ya kejauhan ya, ayah udah didepan sahabat (salah satu nama Toko di Cakung). Lia muter balik aja lagi, ayah tungguin”
“Oh gitu, yaudah tunggu ya”

Akhirnya aku muter balik arah. Sesampainya dan seketemunya dengan ayah, aku meminta kunci motornya agar aku yang mengendarai motornya. Tapi ayah tak mengizinkanku untuk memboncengnya..

“Yah mana sini kuncinya? Aku bonceng aja, atau ayah mau sama Ridwan?”
“Ga usah deh ya, ayah udah ga pusing. Lia naik aja biar ayah yang bonceng”
“Yah gimana kan aku tujuannya jemput ayah, masa tetep ayah yang bawa motor?”
“Udah yu cepetan”

Dan aku pun naik diboncengan ayah, aku sedikit agak takut akan kondisi ayah karena tadi ibu bilang ayah sedang sakit. Tapi ini ayah malah memaksaku untuk tidak membawa motornya.

Keesokan harinya adalah hari Minggu, bertepatan dengan hari Raya Idul Adha 1435H. Kebetulan ayah memang panitia Qurban. Pagi itu ayah terlihat sibuk sekali didepan lemari untuk memilih baju koko yang akan ia pakai, padahal ia masih sakit tapi ia terlihat bersemangat sekali.

“Bu, ayah mau pakai koko putih yang buat umroh waktu itu dong. Sama jaketnya ya bu, soalnya masih ga enak badan”

Pagi itu ayah rapih sekali. Dengan koko putih terlapisi jaket hitam dan sarung barunya dari pemberian masjid. Ayah terlihat berseri. Pagi itu aku dan keluarga memang berangkat ke masjid bersama-sama, seperti biasa beriringan.

Ayah berdiri di mimbar. Membuka acara sholat ied dengan mengumumkan amal-amal yang masuk ke dalam kas masjid, serta mengumumkan para peserta yang ikut menyisihkan sebagian hartanya untuk berqurban. Suara ayah memang sangat berat, berat sekali. Keringatnya tak berhenti mengalir deras, dan tak jarang pula ia hampir terjatuh karena lemas. Aku menatapnya dari kejauhan, “Ayah kenapa”.
Setelah sholat ied selesai, aku, ibu dan adikku kembali ke rumah. Aku sudah menyusun kursi untuk foto bersama nanti ketika ayah pulang. Tapi tak lama kemudian ada rekan ayah yang datang ke rumah dan mengatakan bahwa ayah pingsan di masjid saat selesai sholat ied. Aku bergegas mengeluarkan motor dan menjemput ayah. Aku lihat keadaan ayah, lemas, dengan kucuran keringat yang membasahi sekujur tubuhnya. Khawatir, takut, panik, semua menyatu di benakku.

“Ayah mau pulang? Aku bawa motor buat jemput ayah. Ini aku bawa roti”
“Nanti ya pulangnya. Ayah makan dulu, trus ayah tidur dulu sebentar. Ayah masih pusing banget”
“Iya yah”

Aku tunggu hingga ia terlelap dan menunggunya bangun. Tak lama ia terbangun dan minum air. Rekannya datang dan menawarkannya untuk mengantarkan ayah pulang. Mungkin ia berfikir bila aku yang membawa ayah pulang dalam kondisi seperti ini, aku tak akan mampu menahan ayah di perjalanan nanti. Akhirnya ayah pulang diantar rekannya.

Setelah sesampainya dirumah ayah langsung tertidur. Seharian itu ayah hanya tidur dan makan, aku tak begitu khawatir karena ayah makan dengan sangat lahap, senang melihatnya. Namun sorenya ayah minta untuk dituntun ke kamar mandi untuk ambil wudhu dan sholat ashar. Setelah sholat ashar ayah muntah-muntah. Aku takut, dan aku memaksa untuk membawa ayah ke rumah sakit. Akhirnya ayah mau kerumah sakit setelah dibujuk-bujuk.

Kondisi masih sama, ayah masih terlihat lemas. Keesokannya saat sore hari sepulang aku kuliah aku mulai mengkhawatirkannya kembali. Ayah sudah tak bisa makan dan minum. Ia bilang bahwa tenggorokannya tertutup reak, dan sebelumnya ia bilang bahwa ia sama sekali tak batuk. Aku bertanya pada dokter jaga yang berada didalam ruang ICU itu “Dok, ayah kenapa ada reaknya? Makanannya jadi ga mau masuk, minum juga susah”

“Itu penyumbatan karena hipertensinya mengenai saraf yang berada di tenggorokan, tenang aja kan masih diinfus”

Aku diam dan kembali ke tempat ayah. Ayah berkata..

“Ya, ayah laper. Ayah mau makan, ayah mau minum. Tapi tenggorokan ayah ga bisa nerima itu”

Mendengar itu hatiku terenyuh, seperti terdobrak palu terkeras. Aku sedih.

“Ayah mau makan apa? Biar aku ambilin. Diruang tunggu banyak roti pisang coklat keju kesukaan ayah, ayah mau?”
“Boleh ya”
“Sebentar ya”

Tak lama kemudian aku kembali ketempat ayah dengan membawa sepotong roti. Ayah memakannya, tapi ia kembali memuntahkannya. Pemandangan ini membuat aku semakin berat.

“Ayah sabar ya, itu lagi pengobatan. Ayah tidur aja, mungkin besok udah pulih lagi”

Ayah pun menyandarkan kepalanya kembali ke bantal dan tertidur. Aku keluar ruangan ICU sambil meneteskan airmata, berdoa pada Allah agar diangkat penyakitnya. Aku tak akan mampu melihat ayah dalam kondisi seperti ini terus.

Jam 23.00, aku kembali kerumah dan beristirahat. Keesokan harinya, ibu terlebih dahulu berangkat ke rumah sakit. Niatku nanti sekitar abis zuhur aku akan menyusulnya. Tapi ternyata tidak. Jam 10.00 ibu menelponku dengan teriakan tangis, memenuhi seluruh lorong handphone yang membuat aku lemas dan terjerembab dalam kebingungan..

“Liaaaaaa, ayah liaaaaaa. Cepat kerumah sakit sekarrrrrr........aanggggggg” (dengan nada yang tak jelas disertai isaknya)

Aku dirumah ikut panik dan tak bisa bicara. Aku bergegas ke rumah sakit dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Yang aku dengar di ruang itu hanya tangisan ibu dan bude (yang kebetulan sedang menjenguk), mereka nangis sesenggukan. Dan aku bertekad untuk masuk ICU.

Ayah kenapa?” (dengan air mata yang tak ada henti-hentinya menangis dan berharap bahwa ada berita yang baik untuk menghentikan airmata ini)
“Tolong mba nya diluar dulu sebentar, kami sedang melakukan tindakan” suasana ICU saat itu sedang ramai kerumunan dokter yang menutupi pandanganku ke arah ayah.

Aku kembali keluar dan menunggu panggilan dokter. Tak lama kemudian..

“Silahkan masuk..”
“Ayah kenapa?”
“Ayahmu tadi sempat berhenti. Maksudnya memang tadi seluruh aktifitas ditubuhnya berhenti tiba-tiba, tidak bernafas, darah tidak mengalir dan kornea menyempit. Namun saat ini kami melakukan tindakan emergency, ayah anda bisa bernafas dengan menggunakan alat yang terpasang di mulutnya. Untuk saat ini ayah anda kondisinya koma atau kritis”
“Lakukan yang terbaik ya, dok”

Mendengar hasil itu aku sedikit lega, namun sesak dan sedihku masih sama. Dalam kondisi itu aku sudah tak bisa lagi bicara pada ayah, aku sudah tak bisa lagi menyuapi ayah makan, aku sudah tak bisa lagi melihat ayah tersenyum. Aku keluar ICU dan mencoba menenangkan ibu dan adik yang baru datang, sebisa mungkin aku mencoba mereka untuk tenang dan berfikir bahwa ayah bisa sembuh. Mereka memang tak berhenti menangis, dan hingga aku bingung aku harus berbuat apa.

Posisiku disini aku adalah anak pertama. Apapun yang terjadi aku harus lebih kuat dari ibu dan adikku. Mereka tak mampu melihat ayah seperti ini, setiap mereka lihat pasti akan jatuh pingsan. Jadi biar aku yang menjaga ayah selama koma di ICU. Selama ayah koma, aku tak pernah berhenti untuk mengajaknya bicara dan mengajaknya ‘tuk pulang. Aku pun tak pernah lupa untuk mengiringinya dengan kalimat suci favoritnya “Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallaaah, huwallaahu akbar..”, aku slalu membisikannya setiap selesai aku mengobrol dengan ayah. Kenapa ayah suka dengan kalimat itu? Karena ia sangat senang sekali dengan suasana yang amat tenang dan nyaman dengan lafadz itu.

Melihat perkembangan demi perkembangan yang terjadi pada ayah di rumah sakit. Sesekali aku memandang wajah ayah dan berharap ayah akan menggerakan kepalanya dan membukakan matanya untukku, ah tapi tidak.. ayah tak kunjung bangun. Tak jarang aku mendekap tubuhnya, berharap agar ayah bergerak dan tangannya menyentuh tanganku. Tapi ayah tak kunjung membuka matanya, ayah.. bangun ayah.. aku akan siapkan makanan, kau belum makan dari kemarin, aku tau kau pasti lapar dan haus.

Esok malamnya aku memutuskan untuk mengurus surat rujukan rumah sakit ayah. Karena ibu dan aku fikir, mungkin dirumah sakit ini fasilitasnya kurang hingga tak terjadi perubahan sama sekali pada ayah. Aku mengurus semua surat-suratnya, karena aku harus lebih tegar dan aku tak boleh lemah. Biar ibu dan adik beristirahat karena terlalu banyak tangis dan kepikiran akan kesehatan ayah. Biar aku yang mondar-mandir naik-turun tangga untuk mengurus surat-surat rujukannya. Saat aku ingin menandatangani surat rujukan terakhir aku dipanggil oleh kakak sepupuku untu cepat-cepat naik..

“Liaaaaaa.. liaaaa cepat naik”
“Ayah kenapa?”

Hatiku mulai berdebar-debar tak karuan dan tak terarah. Dan terdengar kembali suara jeritan demi jeritan. Aku hampiri dan ternyata itu ibu, dan ketika kulihat sekelilingku sudah menangis dan sebagian mencoba membangunkan adikku yang jatuh pingsan. Kakiku lemas, pandanganku seperti memudar, tapi aku harus bergegas ke ruang ICU. Sesampainya diruang ICU aku melihat ayah sudah di pompa jantungnya, kedua kakinya dijepit dengan tujuan di setrum untuk memancing reaksi tubuhnya. Kanan kiriku sudah ada dua orang yang menahanku sejak tadi. Aku berjalan menuju kepala ayah, ingin mencium ayah.

Aku mencium ayah, mencium seluruh wajah ayah. Aku bisikkan di telinganya “Ayah, ini aku. Bangun plisss yah, bangun. Dengerin aku yaa.. Laa ilaahaillallaaah.. laa ilaahaillallaaah..” setelah aku mengucapkan itu dokter menyuruhku dan yang lain untuk menjauhi pasien.

“Tolong pak bu menjauh dari pasien, saya akan melakukan tindakan terakhir. Ini mungkin akan menentukan hasil akhir”

Tak lama kemudian dokter memperihatkan hasil print alat detak jantung dan nafas ayah. Dan hasilnya garis lurus. Tau apa artinya?? Ayah sudah tiadaaaaa..

Aku lemas, separuh tubuhku seperti hilang..
Pandanganku kabur dan airmataku tak berhenti mengalir..
Ayaaaahhhhh mengapa harus secepat ini?
Bukankah kau ingin melihatku wisuda?
Bukankah kau ingin naik haji bersama ibu?
Ayah, kau sudah berjanji untuk mendampingi aku saat aku menikah nanti kan?
Ayah bangunnnnnnnnnn..

Aku tak berhenti berteriak. Aku rapuh saat itu dan aku hancur. Ibu dan adikku juga melakukan hal yang sama.
Sepulangnya dirumah dan sesampainya jasad ayah dirumah, aku tak pernah lepas mendekapnya. Aku terus memeluknya meski aku dilihat banyak orang yang berdatangan. Aku bisikan pada ayah malam itu “Ayah, apa kau tau? Malam ini sungguh ramai. Mobil dan motor berhasil memenuhi jalan utama perumahan ini yah. Kau tau artinya? Banyak yang menyayangimu yah. Banyak yang menghormatimu. Kenapa kau tak bangun? Apa kau masih betah dengan mimpimu hingga kau tertidur lama seperti ini?”

Omonganku memang sudah ngelantur. Tapi aku tak pernah berhenti mengucapkan kalimat favorit ayah. Aku selalu bisikan ditelinganya “Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallaaah, huwallaahu akbar..” mulai dari ia ditaruh jasadnya di kasur empuk, hingga ia ingin dimandikan. Aku tak pernah lupa kalimat suci itu untuk mengiringi perjalananmu menuju surga yah, aku tak pernah lupa.

Kini ayah memang sudah tak ada raganya, tapi segalanya tentangmu masih tersimpan dan terukir yah. Dan tak akan pernah terhapus. Ayah ingat? Sepulangnya ayah dari Umroh, ayah bilang bahwa ayah selalu merindukan aku.

“Pas waktu ayah di pantai sana, ayah liat nama Lia disana. Ayah kangen banget sama Lia, tapi pas mau telepon ke Indonesia jaringannya susah banget, jadi ayah gajadi telepon. Pantai disana bagus banget. Kalo Lia tau pasti Lia seneng liatnya”
“Tuhkan yang diinget Lia doang, ibu sama dede engga?” ledek ibu saat itu.


Ayah..
Taukah kau? Setiap orang yang datang kesini tak luput dari tangisan-tangisan karena kehilanganmu yah. Mereka mengharapkanmu kembali. Sama seperti aku. Tangisnya mereka histeris sama seperti aku saat kehilanganmu. Mereka menyayangimu juga yah.

Ayah..
Aku tak pernah menyangka bahwa boncengan itu adalah boncengan terakhir darimu untukku. Aku tak pernah menduga bahwa kau tak akan pernah lagi mengantarku pergi kemanapun.

Ayah..
Aku tak pernah menduga bahwa suapanku malam itu adalah suapanku yang terakhir untukmu. Aku tak pernah mengira bahwa aku tak akan pernah menyuapimu makan lagi.

Ayah..
Kau sangat kuat..
Kau hebat, dan kau tangguh..
Ayah..
Aku merindukanmu..
Aku menyayangimu..
Dan tak akan pernah berhenti untuk hal itu..

Hari ini tepat 7 harimu, Ayah..
Aku sudah 7 hari tanpa hadirmu..
Doakan aku dari sana agar aku mampu menjalani semuanya ya, yah
Aku yakin bisa membuatmu dan Ibu bangga padaku kelak nanti..

Kau pergi tak seutuhnya yah..
Kau masih dihati ini yah..
Dan akan tetap mengiringi langkahku :)

(3 Mei 1966 - 8 Oktober 2014)

4 comments:

  1. saya turut berduka cita ya mbak Lya. Semoga mba Lya, Ibu, dan adik-adik senantiasa diberi ketabahan :)

    kalo baca ini saya jadi inget ayah saya pas dirawat di rumah sakit, gara-gara sakit Batu Ginjal. Alhamdulillah ayah masih sehat sampai sekarang, cuma waktu di rumah sakit itu saya 2 kali ngeliat kejadian yang diceritakan mbak Lya, ketika di ICU dan saudara-saudara yang menangis.

    saya nggak tau, apa saya bakal sekuat itu untuk melihat dan mengalami hal itu

    ReplyDelete