Sunday, March 15, 2015

Berawal dari Kecewa (Part. 1)



Ketika kita tak saling tatap muka. Disisi lain aku mencarimu ke setiap sudut. Mencari ke segala arah agar dapat melihatmu. Disini, ditempat ini. Sebut saja taman kamboja. Taman yang indah, sejuk dan teduh ditemani beberapa pohon beringin besar dipinggirnya seakan tak ada celah terik matahari menyusup ke tubuhku. Aku indah, hampir saja ku lupa memaparkannya. Maaf, mungkin karna ku terlalu sibuk berharap, dan tak bisa menata hati pada orang yang salah. Ah abaikan.

Di tempat ini, di taman ini. Beberapa hari lalu, aku bertemu dengan sosok pria. Pria yang memiliki porsi tubuh cukup tinggi, berisi dan parasnya memang tak bisa ku lupa. Ia tak terlalu tampan, tapi cukup menenangkan. Beberapa hari lalu ia kesini, duduk disini, bersamaku, menenangkanku saat aku sedang menangis sendiri. Menangisi apa yang seharusnya tidak ditangisi. Sebab apa lagi kalau bukan karna pria? Biasalah, wanita seumurku pasti akan melakukan hal yang sama ketika kecewanya sudah memuncak pada orang yang disayanginya. Saat itu aku baru saja menerima telepon dari Andi, bisa disebut mantan meski aku masih sangat mengharapkannya. Hari itu kondisiku sedang tak enak badan, namun ketersediaan makanan di kost-an ku sudah mulai menipis, mau tak mau aku harus pergi ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhanku. Ku ambil handphone yang ku letakkan tak jauh dari tempatku berbaring, ku telepon Andi..

“Halo, And..”
“Apa sih ndah?”
“Bisa antar aku ke supermarket? Badanku agak kurang enak”
“Sendiri ga bisa? Aku sibuk. Tugasku belum selesai, sebentar lagi juga mau ke bengkel karna ban motorku bocor”
“Yaudah kalo gitu, maaf ya ganggu”

Aku menganggapnya biasa. Mungkin karna Andi memang sedang kesal karena tugasnya belum selesai dan ditambah ban-nya yang bocor. Aku pun beranjak dari tempat tidurku dan segera keluar kamar. Akhirnya aku menuju supermarket dengan menggunakan angkutan umum. Kutunggu didepan gerbang kost-ku (karna kebetulan letak kost-an tepat di pinggir jalan). Tak lama kemudian datanglah angkutan umum bagai raja membawa kereta kudanya dan mengajak tuan puteri naik ke dalamnya. Ah abaikan.

Tak lama kemudian aku melihat seorang pria dengan sepeda motor besar andalannya melintas tepat menyalip angkutan yang aku taiki. Ku perjelas. Dengan mengucek mata berulang-kali, dan sedikit terperangah. Lebih ku perjelas lagi. Andi? Bukannya ia sedang mengerjakan tugas? Lalu itu siapa? Wanita yang tepat di boncengnya dengan posisi memeluk dari belakang. Aku ingin memastikan. Ku ambil handphone-ku dan ku telepon Andi. Ah, sibuk! Niatku tak ingin berfikiran negatif, tapi apa yang baru saja terlihat sudah membuatku seperti tertusuk dan tersobek samurai. Akhirnya ku tunggu beberapa saat dan ku coba menelponnya lagi. Dan tak lama kemudian angkutan yang ku taiki melintasi sebuah supermarket dan akhirnya berhenti dan aku pun lantas turun. Kulihat motor yang sama persis di depan supermarket. Lalu aku masuk dengan tergesa-gesa karna ingin sekali memastikan. Lalu ku masuk dengan sembunyi-sembunyi melewati labirin yang berisi sabun mandi. Terdengar percakapan. Nah, itu Andi!!

“Sayang, kamu mau minum ini? Atau apa? Tadi katanya kamu aus kan?”

Whattt???? Sayang???
Apa-apaan ini??
Amarahku menaik dan aku muncul di hadapan Andi.

“And, tugasmu banyak? Udah selesai?”
“Indah?”
“Iya, kenapa?”
“Aku..”
“Aku duluan ya..”

Aku pun beranjak pergi. Entah mengapa aku tak bisa marah, padahal bathinku ingin sekali memakinya dan membuatnya malu. Tapi aku tak bisa. Aku lari ke taman yang terletak tepat di seberang supermarket. Disana ada taman kamboja yang sangat menenangkan, mungkin disana aku bisa lebih tenang..

Aku duduk di bangku ujung tepat di sebelah pohon kamboja berbunga putih. Menangis tak ada henti-hentinya. Rasa amarahku, kesalku, dan kecewaku yang tak karuan. Di waktu itu pula ku blokir semua komunikasiku pada Andi. Aku kesal. Aku marah. Aku kecewaaaaa. Meski t’lah berulang kali ku mengatakan hal itu, tapi tetap saja raunganku tak dapat membuatku sedikit lebih tenang. Rasa pusing di kepalaku pun tak lagi ku rasa. Rasanya hanya seperti dicabik-cabik. Ya, namanya juga patah hati.
Tak lama kemudian, ada pria tegap yang menghampiriku dengan membawa sebotol air putih.

“Nih, minum dulu. Kasian banget sih sampe sesenggukan gitu”
“Loh? Tian?”
“Lo kenapa? Ya ampun sedih banget sih. Apus ah air matanya” sambil memberiku tissue. Tian ini sahabatku sejak SMA. Dia memang dekat denganku. Perhatiannya padaku membuat semua wanita yang suka padanya selalu iri denganku.
“Si Andi yan, huhuuuuuuu..” aku meneruskan tangisku yang tak kunjung selesai itu.
“Yaelah malah nangis lagi, gue tinggalin nih”
“Ah jangaaan. Orang lagi sedih malah ditinggal”
“Yaudah jangan nangis lagi dong, tuh liat ih kaya nene gayung mukanya kalo nangis terus”
“Ih Tiaaan. Rese banget lo -____- “
“Yaudah diem ah, janan nanis agi yaa indah yang tantikkkkk” sambil mencubit kedua pipiku. Memang ia sering melakukan hal-hal itu sejak dulu, makanya aku pun tak akan pernah bosan bila sedang bersamanya.
“Huhuhuuuu, iya iyaa. Beliin martabak telor dulu dong”
“Tuhkan mulai deh nyusahin -_- yaudah nangis aja lagi deh gih sana”
“Ih Tian jahat banget”
“Udah dong ah, jangan sedih. Emang Andi kemana sih? Ditinggal Andi belanja? Apa ditinggal Andi ke bengkel?”
“AH TIAAAAAAAAAAANNNNNNN, Huhuhuuuuu..” nangisku seketika makin menjadi-jadi. Entah apa yang kurasa saat itu, intinya hanya rasa sakit yang tak terhingga yang sedang menyerangku saat ini.


Lanjutan ke --> Berawal dari Kecewa (Part. 2 End)

0 comments:

Post a Comment