Monday, November 17, 2014

Aku Tak Menyadari Hal Itu, Ayah..

Maafkan aku yang mungkin menganggap apa yang terjadi pada akhir-akhir ini memang sangatlah menyebalkan..

Aku memang menyentuh bingkai itu saat aku mengambilkan segelas air untuk menyiapkan kau minum nanti. Kau memang masih belum pulang, siang itu kau masih di Masijd untuk menunaikan Sholat Dzuhur berjama’ah. Aku memang terbiasa menaruh gelas dibelakang bingkai itu, tapi entah mengapa dengan tak sengaja aku menyentuhnya dan bingkai itu terjatuh dan pecah. Bingkai yang berisi foto-foto masa kecil dan foto-foto keluarga. Seketika aku terdiam dan mendadak menjadi cemas karena kau belum juga tiba di rumah. Namun ketika aku sedang membereskannya tak lama kau pun muncul dari pintu masuk rumah, dengan wajah berseri dan tersenyum menawan padaku, seolah kau menjelaskan padaku bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan, kau baik-baik saja.

Esok harinya memang berjalan seperti biasa. Namun sepulang aku kuliah, aku memandang seisi ruang tamu. Kali ini ada yang berbeda. Entah itu apa tapi aku merasa ada hal yang hilang di ruang itu. Hingga ibu bertanya..

“Kenapa? Kok liatin seisi ruangan kaya gitu?”
“Gapapa bu..”

Nah, ini. Aku terpaku pada sebuah tempat yang seharusnya disana terdapat foto ibu dan ayah. Tapi sekarang tak ada, dimana?

“Ibu, fotomu dan ayah yang ada disana kemana? Kok ga ada ditempat?”
“Tadi siang pecah”
“Kok bisa pecah bu?”
“Iya, tadi siang angin kencang sekali jadi fotonya kedorong angin dan jatoh”

Aku slalu mencoba untuk tak memikirkan hal-hal aneh layaknya sinetron-sinetron yang seolah diberi tanda buruk setiap ada barang yang pecah. Tapi aku berfikir sedikit aneh. Foto itu sudah ditaruh disana sejak lama, sekencang apapun anginnya juga sebelum-sebelumnya foto itu tak pernah jatuh. Aku kembali mengkhawatirkan ayah. Ayah masih di kantor, dan aku sengaja menunggu ayah di ruang tamu agar aku mengetahui kedatangannya sehingga aku melihat keadaan ayah dan meyakinkan diri sendiri bahwa tak ada hal buruk yang terjadi pada ayah. Aku harap ayah baik-baik saja.

Ba’da maghrib ayah tiba dirumah, dan tenangnya hati ini melihat ayah dalam kondisi baik-baik saja. Aku pun kembali menuju kamar untuk melanjutkan tugas-tugasku yang berserakan.

Dalam waktu yang berdekatan pula aku telah memecahkan beberapa gelas. Sebenarnya bukan maksudku ingin merusak, tapi entah mengapa tanganku seolah tak memiliki kekuatan lebih untuk menggenggam gelas-gelas itu. Termasuk saat kau terbaring lemah di Rumah Sakit (beberapa waktu sebelum kau tiada). Saat itu aku kembali ke rumah untuk mengambilkan ibu selimut dan bantal agar ibu bisa tidur sedikit nyaman di ruang tunggu selama ayah di Ruang ICU. Setibanya aku dirumah, aku langsung menuju dapur untuk menaruh buah-buahan yang ku bawa ke dalam kulkas. Ketika aku melewati rak piring, aku tak sengaja menyenggolnya. ‘Pranggggg’, aku memecahkan gelas lagi. “Maafkan aku ibu, gelasmu sudah banyak yang rusakkan. Tapi aku tak sengaja” batinku. Aku membereskannya dengan hati cemas, memikirkan ayah yang sedang terbaring lemah di ICU. 

“Ya Allah..
Izinkan orang yang aku sayangi sembuh, izinkan aku untuk membahagiakannya lebih lama..
Kasian Ayah dari kemarin belum makan, pasti ia lapar. Ia hanya mendapatkan cairan obat yang dimasukan melalui selang-selang ditubuhnya..
Ya Allah, sadarkan ayah..
Aku rindu suaranya, aku ingin bercerita banyak hal yang ia tak ketahui selama ia sakit..
Aku ingin bercerita padanya bahwa banyak orang yang berdatangan untuk mengharapkan kesembuhannya..
Aku ingin merasakan hangat sentuhnya lagi saat ia menenangkan aku..”

Aku membereskan pecahan-pecahan gelas itu dengan hati tak karuan dan air mata yang sulit dihentikan. Aku buru-buru, aku mau lihat ayah, aku rindu ayah, aku yakin nanti setibanya aku di rumah sakit pasti ayah sudah bangun.

Sekembalinya aku ke rumah sakit aku langsung menuju ruang ICU, aku ingin tahu bagaimana kondisi ayah malam itu. Ku buka perlahan ruangannya, dan aku kembali meneteskan airmata saat memeluknya.

“Ayaaah, apa kau tak lapar? Ayaaah kau belum makan sejak kemarin. Ini aku bawakan roti yah, aku yakin kau sudah boleh makan roti. Ayaaah bangun sebentar, makan roti yang aku bawa dulu nanti baru tidur lagi”

Memang tak bisa ku tahan airmata ini “Ayaaaah mau sampai kapan kau diamkan aku seperti ini, yah? Mau sampai kapan ayah tak mau bicara denganku ibu, dan adik? Ayah jangan tidur terus, bangun yah banguuuuun”

Ayah tak juga sadar. Kondisinya masih koma. Hingga akhirnya ayah sembuh dijalan Allah. Mungkin Allah terlalu sayang pada ayah sehingga iya tak ingin melihat ayah sakit terlalu lama.
Ayah..
Tanda-tanda akan tiadanya dirimu memang tak pernah ku duga pada diriku sendiri. Termasuk boncengan terakhirmu saat kau minta aku jemput.

Hari ini bertepatan dengan 40 hari tiadanya dirimu. Dan memang tak terasa aku ternyata sudah tanpamu selama ini. Rasa rindu yang semakin menggebu-gebu. Hanya mampu memandang foto-foto yang sengaja aku pajang di seluruh kamarku..

 
Indahnya senyummu yang menggejolakkan aku dan membuatku bangkit dan maju..


Ayah, aku janji akan menjadi sepertimu..
Aku janji semampuku menjaga ibu dan adik sama sepertimu..
Aku janji akan kuat sepertimu di keluarga ini..
Aku janji, yah..
Bantu aku untuk menjadi yang terbaik ya, yah..
Aku akan buat kau, dan mereka bangga..


Dari
Aku yang tak pernah berhenti menyayangi, mencintai, mengagumi, dan mengenangmu..

@Lya_cahyanth | Lia Nurcahyanti

0 comments:

Post a Comment